RSS

Banten Masuk Zona Merah



Menristek Kusmayanto Kadiman mengatakan, Banten masuk dalam zona kuning hingga merah untuk wilayah rawan gempa karena wilayah Banten memiliki tanah gambut yang tidak tahan gempa. Pemetaan yang kami lakukan, Banten termasuk wilayah yang masuk zona merah dan kuning untuk kerawanan gempa. Gempa akan sering terjadi di hampir seluruh wilayah Banten, kata Kusmayanto Kadiman saat peresmian Puspiptek (Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) Aeromodeling Club, di landasan Aeromodeling Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Sabtu (17 Okt 2009).

Kusmayanto Kadiman menjelaskan, konstur tanah di Indonesia dibagi menjadi tiga zona. Zona hijau, kuning dan merah. Untuk kawasan Selatan, sebagian besar didominasi zona kuning dan merah. Banten yang wilayahnya masuk kawasan Selatan masuk dalam zona kuning dan merah, ujarnya.

Menristek menjelaskan, Banten potensial gempa karena faktor pergeseran lempengan austronesia (Australia-Indonesia) yang belakangan terjadi sepanjang kawasan Selatan dan yang terbesar adalah potensi gempa yang ditimbulkan oleh Anak Gunung Krakatau. Kata dia, pemerintah daerah bisa mengeluarkan regulasi peringatan dini potensial gempa kepada masyarakat. Pemerintah daerah harus melakukan tanggap darurat meskipun belum terjadi bencana gempa di Banten, imbuhnya.

Terkait dengan potensi gempa di Banten yang sering terjadi, Menristek mengingatkan pemerintah daerah untuk mengeluarkan regulasi khusus pembangunan gedung maupun perumahan tahan gempa. Untuk di Jakarta, aturan ini sudah berlaku. Di Banten, seharusnya juga mulai menjalankan regulasi perizinan ini, paparnya.

Kata Menristek, pihaknya sedang mengembangkan alat pendeteksi antisipasi multibencana. Mulai bencana banjir, tsunami, banjir bandang, gempa, letusan gunung berapi dan bencana alam lain. Kami sedang megupayakan menyelesaikan penyempurnaan alat ini akhir 2009. Jadi, tahun depan, alat antisipasi multibencana sudah bisa digunakan di wilayah-wilayah yang masuk zona kuning dan merah, pungkasnya.

sumber: Radar Banten

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gempa Mengguncang Banten



PANDEGLANG - Gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter (SR) terjadi di Ujung Kulon, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, pukul 16.53 WIB, kemarin (16 Okt 2009). Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, menyebutkan, pusat gempa berada di 6,79 Lintang Selatan-105,1 Bujur Timur, atau 45 kilometer barat laut Ujung Kulon, dengan kedalaman 10 kilometer. Selain dirasakan di semua wilayah Banten, guncangan gempa juga terasa di Jakarta, sejumlah daerah di Jawa Barat, dan Lampung.

Gempa yang berlangsung sekitar 30 detik itu, telah merusak sejumlah bangunan di sejumlah wilayah di Kabupaten Pandeglang. Bangunan rusak berat akibat gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter (SR) yang berpusat di Ujung Kulon, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Jumat (16/10), bertambah menjadi 27 bangunan. Rinciannya, 23 rumah dan empat fasilitas umum (fasum).

Rumah-rumah yang rusak tersebar di beberapa daerah, seperti 16 rumah di Kecamatan Sukaresmi, 5 rumah di Kecamatan Muncul, dan 2 rumah di Kecamatan Pandeglang. Sementara empat fasum yang rusak antara lain, SDN 1 Sukalangu, Kecamatan Saketi, Asrama Yayasan Panti Asuh Al-Iqro, Kecamatan Panimbang, dan 2 musola di Kecamatan Sukaresmi.

Selain mengakibatkan kerusakan sejumlah bangunan, guncangan gempa juga membuat masyarakat pesisir laut di Kecamatan Sukaresmi, Panimbang, dan Sumur, panik. Sore kemarin, puluhan warga dikabarkan telah berkemas menyiapkan perbekalan untuk mengungsi karena khawatir ada gempa susulan yang diikuti tsunami. “Warga benar-benar panik saat gempa. Seluruh warga berhamburan ke luar rumah untuk menyelamatkan diri,” ujar Dedi Rohendi, warga Kampung Sukarame, Desa Sukalangu, Kecamatan Saketi, kepada Radar Banten, tadi malam.

Junaedi, tokoh masyarakat Kelurahan Pandeglang mengungkapkan, rumah Udin Bahrudin (54) dan rumah milik Jaya, warga Kampung Kadu Tokek, RT 01/RW 14, Kelurahan Pandeglang, ambruk beberapa menit setelah getaran gempa kedua berhenti. Begitu juga dengan yang disampaikan Kades Gunungbatu, Kecamatan Muncul Carsam. Kata dia, ada lima rumah ambruk akibat gempa. Pertama tiga rumah di Kampung Cisampur milik Udin, Iton dan Amir, dan kedua, rumah milik Bojin dan Sabda warga Kampung Sawah Hilir.

Warga Siap Mengungsi

Sementara di Kecamatan Sumur, kurang lebih 20 KM dari pusat gempa dikabarkan tidak ada rumah ambruk Kecuali kondisi warga yang siap-siap untuk mengungsi. Getaran gempa yang terjadi pada pukul 16.53 WIB dirasakan sangat besar. Getaran datang dua kali, pertama getaran kecil dan sebentar, sementara getaran yang kedua cukup besar dan waktunya agak lama.

Sementara Briptu Galih Permana, Kepala Pos Polairud Wilayah Sumur, Cemara, dan Taman Jaya yang dihubungi via telepon menerangkan, kondisi permukaan air laut masih stabil. “Situasi di sini masih kondusif. Bahkan ada beberapa nelayan yang masih melaut,” katanya. Saat gempa terjadi banyak warga Sumur yang sedang berjalan kaki banyak yang berjatuhan. “Kami merasakan goncangan yang kuat selama sekitar 1 menit,” jelas warga Tamanjaya, Sumur, Kamaludin.

Dihubungi terpisah, Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Agus Priambudi mengatakan, getaran gempa terasa cukup keras namun tidak ada korban jiwa. Kata dia, pada saat gempa ombak laut di sekitar pantai sempat naik satu meter. “Tapi semuanya aman. Pengunjung tak terganggu, termasuk nelayan. Begitu ada gempa kami langsung mengontak petugas yang sedang jaga di pos TNUK,” ungkap Agus. Gempa itu terasa di seluruh selatan dan pantai Pandeglang.

Berdasarkan keterangan Camat Cibaliung Mustandri, terdapat sejumlah rumah warga yang gentengnya jatuh. Ada juga yang retak-retak tetapi tak terjadi kerusakan berarti. Pada saat gempa warga sempat berhamburan keluar rumah karena khawatir rumahnya roboh. “Yang rusak parah enggak ada. Hingga kini kami masih melakukan monitoring di lapangan untuk memantau kejadian ini. Aparat desa juga melakukan monitoring,” jelas Mustandri.

Pada bagian lain, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum mendapat informasi mengenai korban akibat gempa. Laporan sementara kondisi di sekitar Ujung Kulon terkendali. “Belum ada laporan mengenai korban. BNPB di Ujung Kulon hanya bilang merasakan gempa saja,” kata Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Priyadi Kardono. Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan, Rustam S Pakaya. “Aman,” katanya singkat.

TIDAK BERPOTENSI TSUNAMI

Lembaga pengamat gempa Amerika Serikat (USGS) mencatat kekuatan gempa kemarin bermagnitude 6,5 dan tidak berpotensi tsunami. Prediksi USGS juga identik dengan data BMKG yakni lokasi gempa berada di 6,69 LS dan 105,15 BT. Lokasi gempa 185 kilometer barat Jakarta atau Sukabumi serta 135 kilometer lepas pantai Teluk Betung, Lampung. Gempa berpusat di kedalaman 55,6 kilometer dari permukaan laut. “Gempa kali ini tidak berpotensi tsunami jadi kami sempat mengimbau agar warga di pesisir tidak panik,” kata Kepala BKMG Fauzi di Jakarta.

Getaran gempa yang dirasakan sampai di Jakarta itu membuat sebagian warga Jakarta panik, terutama karyawan yang bekerja gedung-gedung tinggi. Hal itu terkait dengan suasana traumatik akibat dampak gempa yang terjadi di Padang, Sumatera Barat. Pengunjung pusat-pusat perbelanjaan juga tampak panik dan menghambur ke jalan raya. Akibatnya, sejumlah jalan arteri di komplek perkantoran seperti di Sudirman-Thamrin dan kompleks bisnis Mega Kuningan tampak dipenuhi orang-orang yang menghindari ancaman gempa.

BMKG mencatat banyaknya gempa yang terjadi diakibatkan kondisi geografi Indonesia berada dalam pertemuan sejumlah lempeng tektonik besar yang aktif bergerak di mana setiap pergerakan lempeng berpotensi mengakibatkan gempa bumi. Hasil interaksi lempeng-lempeng tersebut menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa geologi, salah satunya kegiatan magmatik dan terbentuknya zona-zona kegempaan dengan intensitas tinggi.

Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan (PPK-Depkes) mengumumkan dampak gempa berkekuatan 6,4 SR hanya menimbulkan sedikit sekali kerusakan infrastruktur milik penduduk. “Di Kecamatan Sumur, Pandeglang, tempat episentrum aman hanya atap genting melorot, dan jatuh,” kata kepala PPK Depkes Rustam Pakaya.

Rustam menambahkan daerah-daerah lain yang dekat dengan lokasi pun, seperti Kabupaten Lebak, Serang, dan Tangerang, dalam kondisi yang aman. Gempa itu juga dirasakan sebagian besar warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, namun kata Rustam, tidak tercatat ada kerusakan dan korban jiwa. “Tidak ada, karena masih dalam level aman.” Pungkas dia.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Dr Surono mengatakan, gempa yang terjadi di Ujung Kulon belum terlihat memengaruhi aktivitas Gunung Anak Krakatau. “Pantauan kami belum ada aktivitas yang cukup berarti di Anak Krakatau,” katanya.

Dia mengatakan, gempa itu terasa cukup kuat di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Pasauran, Anyer. Pengamat di sana, tuturnya, mencatat sudah terjadi 2 kali gempa susulan. Tidak adanya aktivitas mencolok pasca gempa, membuat lembaga itu tetap mempertahankan status gunung.

Status gunung itu terus naik turun antara Level II (Waspada) ke Level III (Siaga) sejak 2007 lalu. Terakhir gunung itu dipatok dalam status Level III sejak 6 Mei 2009. Sejak menyandang status itu, warga diminta menghindari radius 2 kilometer dari puncak gunung itu. Surono mengatakan, kendati aktivitas gunung itu naik warga diminta tidak panik. Daerah bahayanya tidak akan meluas. “Paling sampai radius 2 kilometer daerah bahaya, penduduknya tidak ada (di lingkup itu),” katanya.

Menurutnya, gempa yang terasa cukup kuat itu kecil kemungkinan merusak. Dia beralasan, struktur tanah di selatan Banten itu berbeda dengan wilayah selatan Jawa Barat yang mirip dengan struktur tanah di Sumatera Barat. Di wilayah selatan Banten sebagian besar bukan terbentuk dari endapan aluvial yang memiliki efek menguatkan goncangan gempa. “Sementara di selatan Jawa Barat serta sebagian Sumatera Barat struktur aluvialnya relatif tebal,” pungkasnya.

sumber: Radar Banten

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

14 Wilayah Pesisir Rawan Gempa-Tsunami

SERANG – Sebanyak 14 wilayah pesisir Banten rawan terhadap gempa dan tsunami.Hal ini diungkap Asisten Deputi Analisis Kebutuhan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (Iptek) Kementerian Riset dan Tekhnologi (Ristek) Pariatmo usai menjadi pembicara dalam Sosialisasi Tsunami Drill Banten 2007 sebagai Bentuk Siaga Dalam Mengantisipasi Bencana Gempa dan Tsunami, di sebuah hotel di Kota Serang, Senin (17 Des 2007).

“Ke-14 wilayah tersebut berada di Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Lebak,” tandas Pariatmo. Disebutkan, untuk wilayah pesisir Kabupaten Serang yang rawan gempa dan tsunami terletak di Kecamatan Cinangka dan Kecamatan Anyer. Sementara Kota Cilegon terletak di Kecamatan Pulo Merak, Kecamatan Ciwandan, dan Kecamatan Grogol. Kabupaten Pandeglang terletak di Kecamatan Sumur, Kecamatan Cikeusik, Kecamatan Pagelaran, dan Kecamatan Panimbang. Kabupaten Lebak terletak di Kecamatan Bayah, Kecamatan Panggarangan, dan Kecamatan Malingping.

“Untuk itu, diimbau kepada masya-rakat di sepanjang pe-sisir pantai tersebut, agar tetap was-pada. Yang terpenting ikuti segala bentuk peringatan yang diberikan Sat-korlak penanganan bencana, seperti sirine yang menan-dakan akan adanya dua bencana tersebut,” urai Pariatmo.

Dijelaskan, mengapa Banten menjadi salah satu daerah yang rawan bencana gempa dan tsunami, hal tersebut disebabkan wilayah perairan Banten terletak sangat dekat dengan pertemuan lempeng Australia dengan lempang Eurasia. “Akibatnya, jika terjadi pergesekan yang kemudian menimbulkan gempa yang mencapai 6,3 sampai dengan 6,8 skala richter, bisa mengakibatkan bencana tsunami,” papar Pariatmo.

sumber: Radar Banten

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kebakaran melanda perkampungan warga Baduy



RANGKASBITUNG - Sedikitnya 113 rumah milik warga Baduy luar yang berada di Kampung Kadu Ketug I, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Jumat (16/10) sekira pukul 08.30 WIB, musnah terbakar.

Selain 113 rumah, 10 lumbung padi beserta isinya yang berada di tengah-tengah pemukiman ikut ludes terbakar. Meski tidak terdapat korban jiwa, namun tragedi yang tidak diduga-duga ini mengakibatkan kerugian materil mencapai Rp 1 miliar lebih.

Sekretaris Desa Kanekes, Sapin, mengungkapkan, api berasal dari tungku di dapur rumah milik Jaro Asraf (45). Karena kondisi rumah Jaro Asraf dalam keadaan kosong serta beberapa rumah yang berada di sampingnya juga kosong, api yang kian membesar tidak diketahui warga.

Nah, setelah api merembet ke bagian atas rumah di samping rumah Asraf, beberapa warga yang sedang beraktivitas di huma (lahan pertanian-red) mulai melihatnya. Karena api begitu cepat, warga banyak yang tidak mampu untuk menyelamatkan berbagai barang berharga. Bahkan, padi yang mereka simpan untuk kebutuhan makan di dalam 10 lumbung juga hangus atau tidak dapat diselamatkan.

Bekas lokasi kebakaran, oleh warga setempat langsung dibersihkan. Bahkan puing-puing bangunan yang hangus terbakar langsung disingkirkan. Sore kemarin, mereka kembali berusaha membangun rumah darurat dengan cara kerja bakti. Camat Leuwidamar Khaidir Kadir dan Kapolsek Leuwidamar AKP Martoyo beserta beberapa anggotanya, hingga sore kemarin masih tempak di sekitar lokasi kejadian.

Bantuan Pemkab

Sekitar pukul 14.30 WIB, Pemkab Lebak melalui Bagian Sosial menuju lokasi kejadian untuk menyerahkan bantuan yang diperintahkan Bupati Mulyadi Jayabaya. Jenis bantuan yang bersifat darurat tersebut di antaranya beras 1 ton, puluhan dus mie instan dan lauk pauk, serta 20 unit tenda darurat.

Sementara untuk mengantisipasi terjadinya wabah penyakit, Dinas Kesehatan menerjunkan beberapa petugas medis untuk membuat posko pelayanan kesehatan di sekitar lokasi kebakaran.

Bantuan Pemprov

Wakil Gubernur (Wagub) Banten HM Masduki dan Komandan Korem (Danrem) 064 Maulana Yusuf Banten Kolonel Inf Endro Warsito, Kamis (22/10) memberikan sejumlah bantuan berupa bahan makanan dan pakaian layak pakai kepada para korban bencana kebakaran di Leuwidamar.

“Kami berharap, ke depan warga Baduy bisa lebih waspada terhadap berbagai bencana, terutama kebakaran,” kata Danrem Kolonel Inf Endro Wasito dalam sambutannya sesaat sebelum memberikan bantuan, kemarin.

Meskipun demikian, Endro mengaku pihaknya memberikan apresiasi yang cukup tinggi sekaligus bangga dan bersimpatik terhadap ketegaran warga Baduy yang terkena musibah. Terlebih sifat gotong royong dan kebersamaan yang terlihat begitu kental. “Buktinya, berkat kebersamaan dan gotong-royong warga, puluhan rumah telah terbangun kembali,” katanya.

Sementara itu, Wagub Banten HM Masduki mengatakan, bantuan yang diberikan merupakan salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap warga Bduy yang terkena musibah. “Bantuan ini juga kami kumpulkan dari seluruh warga Banten,” tukasnya. Hadir dalam kesempatan tersebut Komandan Kodim (Dandim) 0603 Lebak Letkol Inf Ridwan, unsur Muspida Kabupaten Lebak dan klub motor dari Kota Serang.

Dikunjungi Gubernur

Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan Wakil Bupati Lebak Amir Hamzah meminta agar warga adat Baduy mengubah kebudayaan memasak menggunakan tungku di atas amben (bambu). Sebab, hampir setiap kejadian kebakaran di wilayah ulayat Baduy disebabkan karena kelalaian atau karena api yang masih menyala di dalam tungku. Permintaan ini disampaikan keduanya, Senin (19/10) kemarin, saat melakukan kunjungan terhadap korban bencana kebakaran.

“Mempertahankan budaya itu penting, namun jika menyebabkan bencana dan mengancam keselamatan maka hal itu perlu diperhatikan,” kata Atut yang didampingi Kapolda Banten Brigjen Rumiah Karteredjo, beberapa anggota DPRD Banten dari Dapil Lebak dan Wakil Bupati Amir Hamzah.

Atut meminta agar para kasepuhan adat Baduy bisa melakukan diskusi terkait budaya memasak tersebut, sehingga bahaya kebakaran akibat tungku tidak lagi terulang. Apalagi, dalam setahun (2009-red) telah terjadi kebakaran hebat sebanyak 2 kali di wilayah ulayat Baduy dengan penyebab yang sama, yakni akibat api di tungku. “Kami berharap para kasepuhan adat bisa mendiskusikan hal ini (budaya memasak-red),” ungkapnya.

Senada dikatakan Amir Hamzah yang menilai budaya memasak ala warga Baduy memang cukup membahayakan. Karenanya perlu ada kajian mendalam untuk memberikan solusi atas kelanggengan budaya tersebut dengan tanpa membahayakan jiwa dan harta akibat kebakaran. “Budaya yang menjadi ciri khas dan mampu membangun memang harus dilestarikan, namun jika bisa menjadi bencana maka sebaiknya dihilangkan demi kebaikan bersama,” tuturnya.

Menyikapi hal tersebut, Kepala Desa KanekesJaro Dainah mengatakan dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan musyawarah terkait persoalan budaya memasak dengan para kasepuhan Baduy sebagaimana anjuran Gubernur Banten dan Wakil Bupati Lebak. “Kami juga malu, karena sering terjadi bencana kebakaran di wilayah Baduy, karena itu secepatnya kami akan melakukan musyawarah besar dengan para kasepuhan,” tukasnya.

Dalam kunjungan kemarin, Pemerintah Provinsi Banten memberikan bantuan berupa beras 3 ton, sembako, obat-obatan, alat rumah tangga, dan peralatan bayi serta uang tunai sebesar Rp 600.000 per rumah. Sementara Kabupaten Lebak memberikan bantuan uang tunai sebesar Rp 500.000 per rumah, setelah sebelumnya memberikan bantuan 1 ton beras dan puluhan mie instant.

sumber: Radar Banten.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Risiko Bencana Terhadap Cultural Heritage


Indonesia merupakan daerah yang rawan dan berisiko tinggi terhadap bencana. Tidak sedikit bencana yang datang secara periodik, namun negara ini selalu tidak siap menghadapi bencana. Manajemen bencana masih belum diterapkan secara baik, sehingga masih banyak korban berjatuhan akibat bencana. Salah satu upaya dalam meminimalkan korban adalah menerapkan manajemen bencana (disaster management) dengan baik. Penerapan manajemen bencana ini tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat. Salah satu bagian dalam manajemen bencana adalah manajemen risiko bencana (disaster risk management).

Manajemen risiko merupakan upaya terencana dalam meminimalkan risiko bencana melalui tindakan perencanaan demi keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan tersebut dapat berupa perencanaan tata ruang daerah yang berbasis bencana, perencanaan penerapan sistem peringatan dini, menemukenali pengetahuan lokal (local knowledge), sosialisasi maupun pemberdayaan masyarakat. Melalui berbagai upaya tersebut, diharapkan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) dapat di maksimalkan.

Menurut WMO untuk melakukan manajemen risiko (risk management) perlu terlebih dahulu penilaian risiko (risk assessment). Risiko bencana dinilai berdasarkan tipe bahaya atau bencana yang akan terjadi, tingkat kerawanan sesuatu obyek terkena bencana (vulnerability), serta nilai risikonya. Penilaian risiko bergantung pada tipe bahaya atau bencana, tingkat kerawanan terkena bencana dan nilai risikonya.

Risiko (risk) bencana merupakan prakiraan kerugian atau kehilangan akibat suatu bencana terhadap elemen yang menghadapi risiko dimasa depan dalam suatu periode waktu tertentu (UNDP/UNDRO, 1992). Perhitungan risiko umumnya mempertimbangkan jenis dan besaran kehilangan atau kerugian. Parameter yang digunakan adalah biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat dikonversikan ke dalam besaran biaya ekonomi. Efek yang dianggap sebagai biaya ekonomi disebut kerugian tangible, sedangkan yang tidak dapat dikonversikan kedalam nilai uang disebut kerugian intangible (Sutikno, 2006).

Kebudayaan memiliki suatu sistem yang saling terkait satu sama lain. Sistem tersebut dapat dibagi menjadi sistem yang bersifat tangible (bisa dinilai dengan nilai materi) dan sistem yang bersifat intangible (tidak dapat dinilai dengan nilai materi). Valuasi risiko bencana terhadap peninggalan budaya tersebut menyesuaikan dengan nilainya. Untuk kerusakan sistem yang bersifat intangible akan cenderung lebih mahal dan susah untuk diinventaris daripada kerusakan sistem yang bersifat tangible (Haryono, 2006).

Kerugian tangible nilainya lebih kecil apabila dibandingkan dengan kerugian intangible karena kerugian intangible tidak dapat dihitung dalam nilai uang atau tidak terhitung harganya. Sebagai contoh adalah kerusakan benda warisan budaya. Benda warisan budaya mempunyai nilai kultur dan sejarah yang tinggi dan tidak dapat dikonversikan ke dalam nilai uang. Hal ini dikarenakan semua benda warisan budaya (cultural heritage) merupakan hasil pemikiran dan kegiatan manusia masa lalu dianggap bernilai tinggi, bahkan sering dinyatakan orang sebagai benda yang tidak ternilai harganya. Tapi manusia hanya cenderung berfikir ke arah perhitungan kerugian ekonomi saja, dan melupakan kerugian secara kultur dan sejarahnya.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dengan keanekaragaman suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki budaya yang berbeda-beda dengan keunikan yang berbeda-beda pula. Peninggalan budaya tersebut tidak hanya dalam bentuk adat istiadat tetapi juga dalam bentuk benda peninggalan budaya. Berbagai peninggalan budaya tersebut wajib dipertahankan. Benda-benda peninggalan budaya seperti candi ataupun tempat ibadah mempunyai tingkat keunikan dan budaya yang sangat tinggi. Selain tingkat keunikan dan budayanya, benda tersebut juga mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Nilai keunikan, budaya dan sejarah tersebut tidak ternilai harganya.

Namun, selain kaya akan budaya Indonesia juga kaya akan bencana. Karena kaya akan bencana maka benda-benda warisan budaya tersebut mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana. Sehingga benda-benda tersebut perlu dijaga keberadaannya terutama saat menghadapi bencana. Apabila benda peninggalan budaya tersebut hancur akibat bencana, maka akan mengurangi nilai sejarah dan kultur benda tersebut, bahkan kultur Indonesia.

Benda-benda warisan budaya banyak yang hancur akibat bencana. Sebagai contoh candi Prambanan dan Taman Sari yang rusak akibat bencana gempabumi 27 Mei 2006. Dan yang baru saja terjadi adalah terbakarnya istana Pagaruyung di Batusangkar, Sumatera Barat. Berbagai warisan budaya tersebut mengalami kerusakan yang berat. Pada Gugusan Candi Prambanan mengalami kerusakan berat yaitu: kerusakan struktural (miring, runtuh, deformasi vertikal, deformasi horisontal, retak); dan kerusakan material (retak, patah, pecah dan mengelupas) (Mundardjito, 2006).

Rusaknya bangunan tersebut, secara langsung berdampak pada kegiatan pariwisata dan ekonomi masyarakat sekitar, namun secara tidak langsung kerusakan tersebut akan berpengaruh terhadap nilai kultur dan sejarah masa lalu. Kegiatan akademis juga akan terganggu terutama untuk penelitian baik saat ini maupun yang akan datang. Kerusakan tersebut memang dapat diperbaiki dengan melakukan pemugaran, tetapi nilai sejarah dan kulturnya tentu akan berkurang karena pemugaran tersebut sudah menjadi pemikiran masa kini bukan masa lalu lagi. Berkurangnya nilai sejarah tersebut merupakan kerugian yang bersifat intangible.

Benda-benda peninggalan budaya di Indonesia mempunyai tingkat risiko yang tinggi terhadap bencana. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan daerah rawan bencana dan banyak ditemui benda-benda peninggalan budaya. Banyaknya benda-benda tersebut maka akan menyebabkan tingginya risiko bencana terhadap warisan budaya. Kerusakan benda warisan budaya baik yang disebabkan oleh bencana maupun yang tidak, harus menjadi perhatian dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, masyarakat dan akademisi. Karena ketiga pihak tersebut yang mempunyai peran penting dalam menjaga keutuhan peninggalan budaya.

Pengurangan Risiko

Upaya mengurangi risiko bencana pada benda peninggalan budaya adalah dengan menerapakan managemen bencana yang baik yaitu dengan melibatkan pemerintah, masyarakat dan akademisi. Managemen bencana dapat diawali dengan melakukan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan ini adalah dengan memperhatikan kondisi lingkungan di sekitar benda-benda peninggalan budaya berdasarkan kerawanan bencananya. Pengkajian kerawanan bencana pada daerah yang terdapat benda peninggalan budaya perlu dilakukan. Sehingga apabila akan dilakukan pemugaran diharapak untuk memperhatikan kemungkinan bencana yang akan melanda.

Pemugaran candi pada daerah rawan bencana gempabumi misalnya, pemugaran tersebut membutuhkan waktu yang lama dan memakan biaya yang cukup mahal. Upaya pemugaran ini harus dibuat dengan memperhatikan kemungkinan terjadinya bencana pada daerah tersebut. Apabila daerah tersebut merupakan rawan bencana gempabumi, maka dalam melakukan pemugaran harus dibuat candi yang tahan terhadap gempabumi dengan memberi perekat antar batu/batubata yang kuat. Begitu juga dengan kemungkinan terjadinya bencana yang lain, upaya mitigasi harus dilakukan. Selain pengamatan pada kondisi lingkungan, pembuatan miniatur bangunan peninggalan budaya tersebut juga perlu dilakukan sebagai upaya mencegah hilangnya nilai arkeologis dan keunikan candi atau benda peninggalan budaya yang lain.

Pemerintah dalam hal ini sebagai pihak pengelola benda peninggalan budaya, harus melakukan inventarisasi benda peninggalan budaya, beserta nilai arkeologisnya yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan catatan masa lalu yang terkait dengan bencana yang telah merusak bangunan tersebut. Inventarisasi ini berfungsi untuk menjaga nilai sejarah dan budayanya. Selain itu berfungsi juga untuk penelitian atau akademis sekarang maupun yang akan datang. Penyelamatan terhadap manusia penting namun upaya konservasi terhadap warisan budaya juga tidak kalah penting, karena hal tersebut juga terkait dengan masalah ekonomi masyarakat sekitar dan pendidikan atau penelitian yang akan datang.

*) Penulis adalah Staf Divisi Pelatihan dan Pengembangan SDM di Pusat Studi Bencana, Universitas Gadjah Mada

sumber:http://pdr.blogsome.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bali segera bentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Gubernur Bali memerima Tim Identifikasi Korban Bencana Massal (Disaster Victim Identification/ DVI) di Renon (24/6). Rombongan yang dipimpin oleh Dr. Prijatna Sudardja, yang juga merupakan Kabid Dokes Polda Bali ini bermaksud memperkenalkan keberadaan Tim ini dimana nantinya Tim ini akan menjadi bagian dari Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD) Provinsi Bali yang sedang dalam proses. Diperkirakan pembentukan badan ini akan dibahas di DPRD Provinsi Bali pada awal Januari 2009.

Demikian dijelaskan Prijatna. Rencananya Pejabat Kepala BPBD adalah eselon 1b, yaitu setingkat Sekretaris Daerah. Ditingkat pusat sendiri sudah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN) yang menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Kedudukan kedua lembaga ini nantinya menjadi sangat strategis dalam hubungan vertikal, fungsi komando, serta penunjukan pejabatnya. Lebih jauh nantinya upaya koordinatif pasca bencana dengan pembagian tugas dan kontribusi yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah juga perlu ditingkatkan agar pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dapat dilakukan secara tepat sasaran. Bali memang sudah teruji dengan setelah dua kali terkena musibah bom beberapa tahun yang lalu. Demikian diungkapkan Kepala badan Keselamatan Perlindungan Masyarakat Provinsi Bali, I Made Denayasa, yang juga mendampingi saat itu.

Gubernur mendukung penuh keberadaan Tim, sesuai dengan dasar pembentukannya yaitu Keputusan Gubernur Nomor 100/05-H/HK/2007 yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Keputusan Gubernur Nomor 747/05-H/HK/2007. Tim ini nantinya akan bertugas merumuskan kebijakan dan strategi penanganan korban hidup dan atau mati, melakukan koordinasi dan konsultasi penanganan lintas fungsi dan institusi dan malakukan penanganan Tempat Kejadian Perkara (TKP) pengumpulan data ante mortem dan post mortem dari metode yang paling sederhana samapai metode ilmiah.

Gubernur yang juga didampingi oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Bali, Drs. I Nyoman Puasha Aryana,M.Si, berharap keberadaan Tim ini dapat mempermudah koordinasi penenggulangan bencana yang terjadi di Bali. “Kita tidak mengharapkan bencana, namun kita harus siap siaga terhadap kemungkinan yang terjadi” jelasnya. Perlu diketahui susunan Tim ini meliputi sejumlah Pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi bali, Polda Bali, RS sanglah, Laboratorium Forensik Denpasar, FKG Universitas Mahasaraswati Denpasar.

sumber:http://www.indonesia.go.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perlu Kementerian Penanggulangan Bencana Alam

Dalam menanggulangi bencana alam gempa bumi yang kerap terjadi di Indonesia, sebaiknya pemerintahan yang baru membentuk kementerian penanggulangan bencana alam. Kementerian itu nantinya tak hanya tanggap terhadap mobilisasi bantuan kepada korban bencana alam tetapi juga merancang antisipasi bencana gempa, seperti merancang arsitektur tata kota yang dapat meminimalkan korban bencana gempa, termasuk merancang rumah tahan gempa.

Demikian disampaikan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Budiman Sujatmiko di sela-sela kegiatannya mendeklarasikan Rumah Aspirasi Budiman Sujatmiko di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Minggu (4/10). "Saya berharap dalam penyusunan kabinet besok, pemerintahan yang baru dapat membentuk kementrian yang khusus mengurus masalah bencana," katanya.

Dengan bencana gempa yang terjadi belakangan ini, kata Budiman, Indonesia tak ubahnya dengan Jepang. Oleh karena itu perlu bagi pemerintah Indonesia untuk belajar antisipasi dan penanggulangan bencana gempa pada Jepang.

Menurutnya, Jepang tak hanya menanggulangi bencana gempa pada saat kejadian, tetapi juga mengantisipasinya dengan merancang tata kota yang dapat meminimalkan korban bencana gempa. Pemerintah di negara itu telah menjalankan penelitian gedung-gedung tinggi yang tahan gempa.

"Makanya, kenapa kita tidak memikirkan kementriaan bencana untuk membicarakan soal perumahan dan gedung yang memenuhi standar tertentu yang bisa tahan gempa," jelas Budiman.

Ide kementerian penanggulan bencana itu, lanjut Budiman, akan diusulkan dalam rapat fraksi PDI Perjuangan. "Ide ini akan saya bagi dengan teman-teman yang menangani masalah bencana," ucapnya.

sumber: www.kompas.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Manajemen Penanganan Bencana Berbasis Masyarakat


Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin timbul ketika bencana.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sebelum bencana dapat berupa pendidikan peningkatan kesadaran bencana (disaster awareness), latihan penanggulangan bencana (disaster drill), penyiapan teknologi tahan bencana (disaster-proof), membangun sistem sosial yang tanggap bencana, dan perumusan kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana (disaster management policies).

Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan utama, yaitu:
  1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini;
  2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;
  3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta memikirkan tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan didalam menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak bencana.

Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi.


Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus Manajemen Bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.

Mitigasi Bencana

Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.

Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

Mitigasi Bencana yang Efektif

Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
  1. Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
  2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
  3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).

Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat

Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan dalam bentuk dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat, manajemen barak dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.

Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya.

Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain:
  1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana;
  2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan;
  3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik;
  4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan;
  5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.

sumber:http://indonesiannursing.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Global Warming dan Global Disaster Management

By: M. Edy Sentosa Jk.


Akhir-akhir ini telah banyak terjadi bencana alam yang melanda di setiap negara baik bencana yang terjadi secara alamiah maupun akibat ulah manusia. Trend terjadinya bencana semakin meningkat diiringi dengan daya rusak yang begitu dahsyat yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia. Menurut laporan ISDR (International Strategy for Disaster Reduction), selama sepuluh tahun terakhir ini setidaknya 478.100 orang yang meninggal, dan lebih dari 2,5 miliar orang terkena dampak dari bencana alam yang terjadi. Dan sekitar US$ 690 miliar kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat bencana tersebut. Hal ini seperti yang tercermin dalam bencana tsunami di Aceh, Indonesia pada 2004 lalu, yang telah merenggut ribuan nyawa dan hancurnya tatanan kehidupan orang Aceh. Pada 2004 juga di Filipina terjadi bencana angin topan yang telah merenggut 1000 nyawa dan menghancurkan kehidupan rakyat Filipina. Yang terbaru adalah bencana yang terjadi di Myanmar telah menyebabkan hal yang serupa. Masih banyak lagi contoh kasus bencana yang terjadi pada dekade akhir ini yang telah membawa kehancuran bagi pembangunan dan kehidupan manusia, termasuk di AS ketika Badai Katrina menghujam kawasan Kalifornia dan di Jepang yang akhir-akhir ini sering terjadi hujan asam.

Bencana-bencana tersebut terjadi tak lepas dari eksploitasi lingkungan alam besar-besaran, seperti penebangan hutan secara liar dan penambangan yang liar maupun legal, ataupun perkembangan industrialisasi yang telah membuat polusi udara, air, dan tanah. Tak heran jika bencana banjir akibat hutan gundul sering terjadi, bencana longsor akibat rusaknya kepadatan tanah, perubahan iklim yang tak menentu, dan akhir-akhir ini yang banyak dibahas adalah global warming. Pada akhirnya, ini memicu timbulnya bencana yang tidak hanya berakibat pada dimensi kehidupan manusia namun juga lingkungan itu sendiri akan semakin rusak parah. Jika ini terjadi maka bencana akan terus terjadi, sehingga antara bencana dan kerusakan lingkungan akan terjalin suatu siklus yang tak putus. Tentunya, dimensi kehidupan manusia akan terancam. Oleh karena itu, interval antara bencana dan lingkungan adalah dimensi manusia yang harus berupaya untuk meminimalisir atau mencegah bencana dan kerusakan lingkungan terjadi.

Upaya tersebut tidak akan berhasil dan mencapai titik dimana bencana dan kerusakan lingkungan dapat dihindari dan dicegah, manakala tidak ada komitmen bersama untuk menaggulangi bencana dan kerusakan lingkungan tersebut. Untuk itu kolektif action sangat diperlukan dalam mengatasi masalah ini. Ini didasarkan bahwa kerusakan lingkungan atau bencana yang terjadi di suatu wilayah akan berdampak pada perubahan keseimbangan ekosistem maupun iklim atau cuaca dimana dampak perubahan tersebut dapat menyebar dan mempengaruhi keseimbangan alamiah wilayah lain. Hal ini sangat jelas jika dicontohkan masalah global warming yang kini menjadi isu bersama semua negara anggota UNFCCC yang berjumlah 191 negara (Tempo Interaktif, 14 November 2007). Karena pada hakikatnya kita hidup dan berada dalam satu atap dunia, layaknya analogi efek rumah kaca atau hukum arah angin. Jika demikian, maka upaya-upaya untuk meminimalisir dan menghindari bencana maupun kerusakan lingkungan harus mendapat perhatian lebih karena ini terkait dengan korelasi antara manusia dengan basis geografi yang ditempatinya sebagai tempat aktivitas mereka.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah manajemen bencana dan reduksi kerusakan lingkungan sebagai wujud preventif dalam mengamankan dimensi human security. Menutut NDYS Japan, setidaknya ada empat fase dalam manajemen bencana, yaitu mitigasi, kesiapan, respon, dan rekoveri/rekonstruksi. Dimana keempat fase tersebut harus terkoordinasi dengan baik sehingga bencana bukan lagi dihindari, karena kita tidak dapat menghindar dari adanya bencana alam, tetapi lebih pada menyiasatinya dengan manajemen yang baik sehingga tidak banyak timbul korban. Dua fase pertama merupakan fase sebelum terjadinya bencana, seperti pembuatan rumah tahan gempa merupakan bentuk dari mitigasi, sementara pembentukan team atau komunitas penyelamat bencana (rescue comunity) merupakan bentuk dari kesiapan. Sedangkan dua fase terakhir merupakan fase saat/sesudah bencana terjadi, seperti penyelamatan para korban merupakan bentuk dari respon, dan pembangunan dan perbaikan kembali lingkungan alam dan sosial merupakan bentuk rekoveri/rekonstruksi. Fase-fase tersbut setidaknya harus ada dalam sistem manajemen bencana. Dalam menangani bencana, fase-fase tersebut akan mudah dicapai apabila terdapat sinergi dan patnersip antara pemerintah–selaku pembuat kebijakan penanggulangan bencana–, kalangan swasta, dan LSM-LSM atau civil society sehingga pelaksanaan manajemen tersebut akan efektif dan efisien.

Upaya yang dilakukan dalam manajemen bencana pada dasarnya merupakan hak prerogative setiap negara dalam menangani bencana yang terjadi tanpa peduli pada bantuan negara lain, sepanjang negara tersebut mampu menangani masalah tersebut. Namun, pada kenyataannya setiap negara memerlukan negara lain untuk saling bahu-membahu dengan segera mengatasi bencana yang terjadi. Ini seperti yang ditunjukkan dengan kerjasama antara Jepang, Indonesia, Finlandia, dan Amerika Serikat dalam kerangka Global Disaster Management untuk saling betukar informasi dan pengetahuan yang update mengenai penanggulangan bencana alam atau kerusakan lingkungan. Melalui kerangka tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penanganan dan penanggulangan bencana alam secara dini serta membentuk sebuah kerangka manajemen bencana yang lebih komprehensif.

Menurut Srinivas, berdasarkan pengalaman research mengenai bencana, ada beberapa langkah yang dapat diambil sebagai bagian dari manajemen bencana, yaitu pertama, membangun kapasitas komunitas local sebagai bagian dari mitigasi dan preventif bencana. Melalui komunitas ini diharapkan dapat secara langsung tanggap terhadap bencana, baik sebelum dan sesudah bencana terjadi. Kedua, menciptakan partnership dan kerjasama yang melibatkan semua organisasi atau kelompok social dalam masyarakat, sehingga penanggulangan bencana dilakukan secara bersama sebagai bentuk social responsibility and solidarity. Penanggulangn bencana akan mudah ketika semua elemen masyarakat dilibatkan. Ketiga, saling bertukar informasi mengenai suatu bencana, sehingga pengalaman bencana yang dialami oleh suatu negara atau daerah, dapat memberikan masukan bagi penanggulangan bencana di negara atau daerah yang sedang terkena bencana. Dan terakhir adalah, mengembangkan basis dan kerangka pembelajaran dan pembuatan keputusan yang berguna bagi pemetaan suatu bencana, sehingga bencana dapat diprediksi dan disiasati dampak yang ditimbulkannya. Setidaknya langkah-langkah tersebut memberikan pemahaman mengenai upaya manajemen bencana, dan itu tergantung bagaimana setiap negara merespon dan menanggulangi bancana yang terjadi di wilayahnya.

Hal yang sangat komprehensif untuk menjelaskan mengenai global disaster management ini adalah terkait dengan isu global warming, dimana isu ini telah menciptakan rezim UNFCCC sebagai sebuah kerangka untuk mencegah atau menanggulangi dampak lingkungan akibat pemanasan global, seperti perubahan iklim dan cuaca yang tak menentu, efek rumah kaca, dan lain-lain. Isu global warming telah menjadi perhatian semua negara, kecuali AS, manakala tercapai sebuah kesepakatan dalam bentuk Protokol Kyoto untuk secara bersama-sama tanggap atas perubahan iklim yang semakin memanaskan suhu di bumi. Menjadi perhatian karena, efek pemanasan global tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua negara saja melainkan seluruh negara di dunia akan terkena imbasnya karena kita hidup dalam satu atap bumi.

Fenomena global warming effect tersebut telah nampak dengan ditandai oleh sering terjadinya siklus hujan yang tak menentu, badai yang kian kuat daya topannya, mencairnya es kutub utara dan selatan yang agresif, suhu panas bumi yang semakin meningkat (efek rumah kaca), meningkatnya suhu rata-rata Danau Baikal, Siberia, Rusia hingga 1,21 derajat Celcius sejak 1946 yang menyebabkan terancamnya keseimbangan ekosistem di dalamnya (Kompas, 1&3 Mei 2008). Sementara menurut Verena Puspawardhani, koordinator kampanye bidang iklim dan energi World Wild Fund (WWF) Indonesia, efek global warming telah juga dirasakan Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan fenomena perubahan musim dimana musim kemarau lebih panjang yang menyebabkan gagal panen, krisis air bersih, dan kebakaran hutan; hilangnya berbagai jenis flora dan fauna, ini ditunjukkan dengan sebanyak 90-95 persen karang mati di Kepulauan Seribu akibat naiknya suhu air laut; meningkatnya temperatur suhu dari tahun 1998 sampai sekarang; dan meningkatnya kasus malaria dan DB karena suhu tropis yang ekstrim. Bahkan, diprediksikan bahwa pada 2070 pasang laut akan telah menyebabkan sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan sebanyak 2.000 dari 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam (Gatra.com, 30 Juni 2007).

Oleh karena itu, pengembangan global disaster management sebagai kerangka mencegah global warming effect menjadi krusial sehingga kita bisa menyiasati dan menanggulangi secara cermat dan cerdas untuk terhindar dari kehancuran kehidupan manusia. Secara konkret, pengaturan manajemen bencana dalam isu global warming ini seperti yang tertuang dalam Bali Roadmap sebagai hasil dari pertemuan UNFCCC di Bali pada 3-14 Desember 2007 (Tempo Interaktif, 14 November 2007). Point-point penting dalam Roadmap tersebut adalah mitigasi, adaptasi, teknologi, dan financing (endonesia.com, 30 November 2007). Upaya mitigasi dilakukan dengan mekanisme negara maju diminta untuk memberikan insentif kepada negara berkembang sebagai upaya menurunkan laju deforestasi. Adaptasi, dilakukan dengan menurunkan emisi gas rumah kaca melalui sustainable development, baik di negara maju maupun di negara berkembang, sampai pada 25-40 persen dalam rangka mencapai level stabilisasi gas rumah kaca dunia (Tempo Interaktif, 16 Desember 2007). Ketentuan tersbut sesuai dengan Annex-I. Teknologi, dilakukan dengan mewajibkan negara industri untuk mengupayakan alih teknologi rendah emisi gas rumah kaca. Sementara, financing dapat dikatakan sebagai pemberian insentif pada negara berkembang yang memiliki kawasan lindung di atas 10 persen. Semua hal tersebut menunjukkan sebuah aksi bersama dalam mencegah dan menyiasati efek-efek global warming bagi masa depan kehidupan manusia. Dan hal tersebut pula dapat dijadikan sebuah langkah dalam global disaster management.

Dengan demikian, terdapat berbagai pemahaman mengenai global disaster management yang meliputi sebelum, saat, dan sesudah bencana terjadi dimana manajemen bencana tersebut sangatlah penting bagi pengamanan dimensi human security karena hal itu terkait erat dengan keberlangsungan kehidupan manusia di dunia dalam rangka mencapai tatanan sosio-politik dan sosio-ekonomi yang lebih damai, sejahtera, dan aman. Itulah inti bagaimana manusia menjalani takdirnya di muka bumi dan sebisa mungkin mereka berusaha menghindar dari bencana yang ada baik sekarang maupun masa depan. Dan itu memerlukan kerangka manajemen bencana baik sebagai early warning system maupun sebagai management system.

sumber: http://theglobalgenerations.blogspot.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Disaster Management

Sampai saat ini kemampuan kita untuk melakukan penanganan atau penanggulangan terhadap suatu bencana masih belum ideal. Perbedaankemampuan kita dalam mengenali, memahami, dan menyikapi bahaya fenomena yang beresiko itulah yang mengakibatkan besaran resiko yang mengena pada korban bencana berbeda. Semakin kita mengenali dan memahami fenomena bahaya itu dengan baik maka kita semakin dapat menyikapinya dengan lebih baik. Sikap dan tanggap yang didasarkan atas pengenalan dan pemahaman yang baik akan dapat memperkecil resiko bencana yang mengena pada kita.

Pengertian Bencana

Bencana (disaster) merupakan suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu komunitas sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. (ISDR, 2004)

Bencana merupakan kombinasi antara ancaman (Hazard) dan kerentanan (Vulnerability). Ancaman yaitu fenomena, bahaya atau resiko, baik alami maupun tidak alami yang dapat (tetapi belum tentu menimbulkan bencana diantaranya banjir, tanah longsor, kekeringan, wabah penyakit, konflik bersenjata dll. Sedangkan kerentanan adalah keadaan didalam suatu komunitas yang membuat mereka mudah terkena akibat buruk dari ancaman diantaranya kerentanan fisik, sosial, dan psikologi/sikap.

Penanganan atau Manajemen Bencana (Disaster Management)

Manjemen Bencana adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan bencana dan keadaan daruat, sekaligus memberikan kerangka kerja untuk menolong masyarakt dalam keadaan beresiko tinggi agar dapt menghindari ataupun pulih dari dampak bencana.

Tujuan dari Manajemen bencana diantaranya:


  1. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa yang dialami oleh perorangan, masyarakt negara.
  2. Mengurangi penderitaan korban bencana.
  3. Mempercepat pemulihan.
  4. Memberikan perlindunagan kepada pengungsi atau masyarakat yang kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam.

Siklus Manajemen Bencana

Untuk tujuan diatas diperlukan beberapa tahap dalam upaya untuk menangani suatu bencana

1. Penanganan Darurat; yaitu upaya untuk menyelamatkan jiwa dan melindungi harta serta menangani gangguan kerusakan dan dampak lain suatu bencana. Sedangkan keadaan darurat yaitu kondisi yang diakibatkan oleh kejadian luar biasa yang berada di luar kemampuan masyarakat untuk menghadapnya dengan sumber daya atau kapasitas yang ada sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dan terjadi penurunan drastic terhadap kualitas hidup, kesehatan atau ancaman secara langsung terhadap keamanan banyak orang di dalam suatu kominitas atau lokasi.

2. Pemulihan (recovery);adalah suatu proses yang dilalui agar kebutuhan pokok terpenuhi. Proses recovery terdiri dari:
  • Rehabilitasi : perbaikan yang dibutuhkan secara langsung yang sifatnya sementara atau berjangka pendek.
  • Rekonstruksi : perbaikan yang sifatnya permanen

3. Pencegahan (prevension); upaya untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan timbulnya suatu ancaman. Misalnya : pembuatan bendungan untuk menghindari terjadinya banjir, biopori, penanaman tanaman keras di lereng bukit untuk menghindari banjir dsb. Namun perlu disadari bahwa pencegahan tidak bisa 100% efektif terhadap sebagian besar bencana.

4. Mitigasi (mitigation); yaitu upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman. Misalnya : penataan kembali lahan desa agar terjadinya banjir tidak menimbulkan kerugian besar.

5. Kesiap-siagaan (preparedness); yaitu persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi(atau kemungkinan akan terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam keadaan darurat danidentifikasi atas sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.

Beberapa prinsip kesiap-siagaan antara lain

  • Pengembangan jaringan informasi dan system jaringan Sistem Peringatan Dini (Early Warning System/EWS)
  • Perencanaan evakuasi dan persiapan stok kebutuhan pokok (suplai pangan, obat-obatan dll)
  • Perbaikan terhadap infrastruktur yang dapat digunakan dalam keadaan darurat, seperti fasilitas komunikasi, jalan, kendaraan, gedung-gedung sebagai tempat penampungan dll.

Sumber:


Pancawati, Heni, Manajemen Bencana (Disaster Mangement), Purwokerto. KOMPLEET 2006 (materi seminar)
Toha, M, Berkawan Dengan Ancaman: Strategi dan Adaptasi Mengurangi Resiko Bencana, Jakarta, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), 2007

dikutip dari: http://pasmajaya.wordpress.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gempa Bumi Jawa Barat


Pada tanggal 2 September 2009, gempa bumi cukup kuat terjadi di bagian selatan Jawa Barat. Data gempa yang dirilis oleh USGS tanggal 3 September 2009 menujukkan kekuatan gempa mencapai 7,4 Skala Richter (SR), berpusat di 7,837 o S dan 107.263 o E, pada kedalaman 62,8 Km (39 miles), pada pukul 13:55:02 WIB atau 07:55:02 UTC. Lokasi pusat gempa atau episentrum tersebut berjarak relatif dekat dengan kota-kota di bagian selatan Jawa Barat yaitu : 125 Km (75 miles)WSW Tasikmalaya, 105 Km (65 miles) SSW Bandung, 110 Km (70 miles) SSE Sukabumi serta 195 Km (120 miles) SSE Jakarta. Data gempa bumi juga telah dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang hampir sama dengan data USGS, yaitu kekuatan gempa 7,3 SR. Jenis gempa bumi tektonik. dengan kedalaman 30 km dirasakan hampir seluruh pulau Jawa.

Mengingat pusat gempa yang relatif tidak jauh dari kota-kota di Jawa Barat bagian selatan, maka akumulasi kerusakan juga terjadi di beberapa wilayah yang berada di wilayah tersebut. Beberapa kecamatan yang berada pada wilayah bagian selatan Jawa Barat seperti Tasikmalaya dan Garut memang ditemukan kerusakan akibat gempa. Kerusakan tidak hanya menimpa rumah tempat tinggal, akan tetapi juga menimpa fasilitas sosial seperti tempat ibadah (masjid) serta sekolah.

Di Kecamatan Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya, kerusakan terjadi pada situs cagar budaya yang berupa masjid. Masjid yang berumur lebih dari 150 tahun tersebut mengalami kerusakan parah pada bagian sayap masjid. Selain itu kerusakan juga terjadi pada bagian atap. Hal ini perlu disampaikan karena bangunan ini selain berfungsi sebagai terminal sosial yang strategis bagi warga Manonjaya, bangunan ini secara budaya telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang mempunyai nilai asset budaya dan sejarah yang tinggi.

Gempa bumi berkekuatan 7,3 skala richter yang berpusat di pantai selatan Pulau jawa ini disebabkan karena patahan lempeng yang berada di lepas pantai Tasikmalaya. Posisi gempa tersebut berpusat di 142 Km barat daya Tasikmalaya dan memiliki kedalaman 30 kilometer.

Tidak hanya di Tasikmalaya, Ratusan rumah penduduk di daerah Kota Sukabumi, Jawa Barat, mengalami rusak parah yang diakibatkan adanya gempa yang terjadi pada Rabu, 2 September 2009, pukul 15.30 WIB. Data yang diperoleh Kecamatan Nagrak, 98 rumah yang rusak parah itu ada di Kecamatan Cireuhat. Namun, di Kota Sukabumi juga terdapat belasan rumah yang mengalami rusak parah.

Bahkan, bukan hanya rumah yang mengalami rusak parah. Sebab, di Kecamatan Cisolok, Kota Sukabumi, telah menelan satu orang yang tertimpa tebing saat gempa berlangsung. Tak hanya itu, Mesjid Baiturrahman yang berlokasi di Desa Ciganyang, Kecamatan Cisaat, Kota Sukabumi, kubahnya ambrol akibat gempa yang hanya beberapa menit tersebut.

Berdasarkan laporan yang dirilis BNPB, Hingga tanggal 13 September 2009 jumlah korban meninggal sebanyak 81 orang, hilang 45 orang, luka 1.238 orang dan pengungsi 177.490 orang. Selain korban, kerusakan juga melanda rumah penduduk, tempat ibadah, sekolah , pesantren dan gedung perkantoran.

Masih dari sumber yang sama, BNPB mencatat data kerusakan sebagai berikut: Rumah (rusak berat 65.738 unit, rusak sedang 36.336 unit, rusak ringan 122.977 unit). Tempat Ibadah (rusak berat 2.417 unit, rusak sedang 569 unit, rusak ringan 2.847 unit). Sekolah (rusak berat 2.109 unit, rusak sedang 1.049 unit, rusak ringan 2.106 unit). Pesantren (rusak berat 13 unit, rusak ringan 55 unit). Gedung Perkantoran (rusak berat 343 unit, rusak sedang 41 unit, rusak ringan 291).

*Diolah dari berbagai sumber

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Profil GUBERNUR BANTEN



Hj. Ratu Atut Chosiyah dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1962 di Kampung Gumulung, Desa Kadubeureum, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, Banten. Ratu Atut adalah sulung dari tiga bersaudara, putra-putri pasangan Haji Tubagus Chasan Sochib dan Hajjah Wasiah. Ratu Atut menjalani masa kecil, tumbuh dan berkembang bersama lingkungan masyarakat agraris dan agamis. Ia menamatkan Sekolah Dasar di kampungnya dan melanjutkan pendidikannya (SMP, SMA, Perguruan Tinggi) di Kota Bandung.

Di Kota Kembang ini pula, ia mulai merintis bisnisnya: berawal dari usaha kecil-kecilan sebagai supplier alat tulis dan kontraktor, kemudian berkembang pesat ke berbagai bidang, terutama perdagangan dan kontraktor. Sebagai pengusaha, Ratu Atut pernah menduduki sejumlah jabatan prestisius, antara lain: Ketua Kama Dagang dan Industri Daerah (KADINDA) Provinsi Banten, Ketua Asosiasi Distributor Indonesia (ARDIN) Provinsi Banten dan aneka organisasi lain.

Sebagai putri Banten, Ratu Atut merasa terpanggil untuk membangun Provinsi Banten, yang terbentuk pada pertengahan tahun 2001, dengan terlibat langsung sebagai pemegang kebijakan dalam pemerintahan. Ia terjun ke dunia birokrasi dengan mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Banten periode 2002–2007. Dalam pemilihan di DPRD Banten, Ratu Atut bersama calon gubernur Djoko Munandar terpilih untuk memimpin Provinsi Banten. Pada tanggal 11 Januari 2002, Hj. Ratu Atut Chosiyah resmi menduduki jabatan Wakil Gubernur Banten. Dan pada awal tahun 2006, ia dipercaya sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur Banten.


Selama lima tahun Hj. Ratu Atut Chosiyah di pemerintahan, telah banyak pembangunan dan kemajuan di berbagai bidang. Hal itu bisa dilihat dari indikator-indikator ekonomi dan sosial selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2001 pertumbuhan ekonomi Banten meningkat dari 3,72% menjadi 5,33% di tahun 2002 dan terus meningkat di tahun 2003 dan 2004 yang masing-masing mencapai 5,62% dan 5,81%. Di tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten kembali meningkat sekitar 6%. Bahkan di tahun 2006 Pemerintah Provinsi Banten, dibawah kepemimpinan Plt. Gubernur Hj. Ratu Atut Chosiyah, menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6%.

Salah satu proyek andalan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi adalah pembangunan Pelabuhan Bojonegara yang akan melengkapi dua pelabuhan besar yang sudah ada: Pelabuhan Penyembrangan Merak dan Pelabuhan Barang Cigading. Proyek Pelabuhan Bojonegara seluas 350 hektar ini rencanaya akan beroperasi pada tahun 2010 dan akan sangat signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten.


Di tengah kesibukannya, istri H. Hikmat Tomet tak melupakan kodratnya sebagai seorang istri dan seorang ibu yang harus mendidik dan membesarkan ketiga anaknya. Pengakuan atas kesuksesannya sebagai seorang ibu, pengusaha dan pemimpin pemerintahan, tampak dari sejumlah penghargaan yang diterimanya, seperti : “Anugrah Citra Perempuan Indonesia” di bidang sosial dan wirausaha dari Yayasan Pesona Indonesia, serta Anugrah Citra Kartini 2003 dari Yayasan Prestasi Indonesia.

Disamping menggenjot roda perkonomian Banten, Ratu Atut juga sangat memperhatikan pembanguan sektor pedesaan. Beberapa program sektor pedesaan seperti program padat karya dalam bentuk pembangunan jalan lingkungan dan program penyediaan fasilitas air bersih dan sarana Madi Cuci Kakus (MCK) untuk meningkatkan kesehatan masyarakat; program Bantuan Keuangan (fresh money) yang diberikan kepada seluruh desa di Provinsi Banten; program Listrik Desa (Lisdes); serta program bantuan keterampilan dan peningkatan usaha mikro serta usaha kecil di pedesaan.


Di bidang kesehatan, Ratu Atut telah mencanangkan program “Banten Sehat 2008”. Program ini diharapkan nantinya akan mampu menciptakan masyarakat Banten untuk hidup dalam lingkungan yang sehat baik itu secara fisik maupun sehat secara sosial kemasyarakatan. Selain itu program ini juga akan membimbing masyarakat untuk selalu berperilaku sehat. Sementara di bidang lingkungan hidup, Ratu Atut mendorong terciptanya lingkungan yang sehat. Salah satu program nyata telah diluncurkan Pemprov Banten yang bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup yaitu program ”Super Kasih” (Surah Penyataan Kali Bersih). Program ini meyertakan dan mengajak para pengusaha untuk ikut menjaga kebersihan kali Cisadane dan Ciliwung.

Kiprahnya dipucuk pimpinan pemerintahan Banten telah menghantarkannya sebagai sosok perempuan pemimpin yang Cakap, Bijaksana dan Teruji. Dalam pandangan banyak tokoh dan masyarakat Banten, Ratu Atut dinilai sebagai putri asli Banten yang merakyat, toleran, dan relegius. Ia juga dipandang peduli terhadap kelompok masyarakat marjinal, kaum dhuafa serta pejuang hak-hak perempuan. Dalam konteks itu pula khalayak memintanya untuk meneruskan estafet kepemimpinannya. Memenuhi panggilan tesebut dan berpijak pada pemikiran yang mendalam serta panggilan nurani maka dengan segala keikhlasan, Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE terjun serta dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Banten yang telah digelar tanggal 26 November 2006 lalu.

sumber: www.penghubung.banten.go.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Kesultanan Banten

Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.

Sejarah

Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.

Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.

Puncak kejayaan

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Masa kekuasaan Sultan Haji

Pada jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

Penghapusan kesultanan

Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.

Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.

Riwayat Perjuangan

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.


Daftar pemimpin Kesultanan Banten

  • Sunan Gunung Jati
  • Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
  • Maulana Yusuf 1570 - 1580
  • Maulana Muhammad 1585 - 1590
  • Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.)
  • Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
  • Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
  • Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
  • Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
  • Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
  • Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
  • Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
  • Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
  • Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
  • Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
  • Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
  • Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
  • Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
  • Aliyuddin II (1803-1808)
  • Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
  • Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
  • Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

sumber: wikipedia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS